Bayiku
karya : Luqman sastraSang mentari begitu gagah hari ini, berdiri tegap seakan memanaskan bara di atas kepalaku, aku tergopoh lelah dari lariku atas polisi yang mengejarku, aku tak tahu lagi kenapa kulakukan semua ini, mencuri dompet orang-orang di pasar, tapi aku tak punya sesuatu untuk membiayai istriku yang hamil anak kami yang pertama dan akan melahirkan.
“Ah..biarlah, sudah mendingan aku mencuri dari satu orang dari pada para karuptor yang mencuri uang semua rakyat, lagian janji-janji mereka untuk membantu orang seperti kami tidak juga terjadi” batinku..
Dua jam sudah aku bersembunyi di balik tumpukan keranjang yang memuat sampah-sampah, walaupun bau, aku terpaksa bersembunyi, karena terakhir aku dengar, orang yang tertangkap mencopet dan mencuri di penjara tiga bulan, belum bogem mentah orang-orang sekitar pasar. Apa yang bisa aku berikan pada istriku jika aku di penjara.
Dengan mengendap-endap ku kuberanikan diri muncul dan berjalan seolah tak ada sesuatu yang telah terjadi, ku jalani lorong-lorong sempit menuju rumahku.
Ternyata resiko yang aku ambil terlalu berat untuk mencari uang, jika saja aku tak berhenti kerja tahun lalu, mungkin semua ini tak perlu aku lakukan, tapi PHK itu sungguh membuat beban keluarga kami begitu berat, apa lagi untuk kelangsungan bayi yang kelak akan lahir nanti. Dasar pemimpin perusahaan yang tak tahu diri, kami sudah bekerja dan mengabdi bertahun-tahun tapi tak di beri bonus malah di PHK!
Selagi aku menghitung hasil curian, aku membayangkan bagaimana wajah istriku, pasti dia sangat senang, karena aku lihat uang yang ada dalam dompet ini begitu banyak, ini adalah anak pertama kami dan akan aku rawat benar-benar agar menjadi orang yang bisa aku banggakan dan menjadi orang besar.
Selama ini aku berbohong pada istriku, aku mengaku sudah dapat kerja di tempat teman lamaku, padahal pekerjaanku adalah mencuri, tapi aku pikir, ini adalah cara satu-satunya. Memang benar kalau dulu temanku memberikan aku pekerjaan, yaitu menjadi satpam, sayangnya tempat itu begitu jauh dari rumah, akupun tak punya kendaraan, kalau berjalan mungkin memakan waktu lama, lagian siapa yang akan mengurus istriku yang sedang hamil, aku tak mungkin tega meninggalkannya dalam keadaan seperti ini, apa lagi di rumah cuma tinggal kami berdua.
Sesampai di rumahku, langsung ku cari istriku, ku cari di kamar tidak ada, lalu kucari di dapur, ternyata juga tidak ada,
“ Rani!!!...Rani!!!, di mana kau nduk, aku sudah pulang!!..teriakku memanggilnya.
Namun tetap saja tak ada jawaban, lalu ku cari ke rumah tetangga, tetap saja tidak ada.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini, di mana istriku? Dia sedang hamil Sembilan bulan, tak mungkin pergi jauh-jauh, ah..apa mungkin ke pasar? Sedang uang untuk belanja saja belum aku berikan”
Sehari sudah aku menunggunya, ternyata tidak juga dia datang, aku mencoba mencari lagi ketempat tetangga, namun hasilnya sama saja, mereka tidak tahu. Tiba-tiba ada yang menyapaku.
“ Hei baskoro! sedang apa kau di sini? Apa kau tidak mengantar istrimu pulang kampung? Tadi aku lihat Rani di jemput kedua orang tuanya.” Kata bardi tetanggaku
“Sejak kapan dia pergi?”
“Sejak tadi pagi, mungkin beberapa jam setelah kau pergi”
“ Oh begitu, pantas aku cari tidak ada, apa dia mengatakan sesuatu untuk aku, pesan mungkin?”tanyaku pura-pura tenang
“Wah aku tidak tahu Bas, sepertinya di sedang terburu-buru”
“Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di daerahnya?” batinku
“Ya sudahlah, mending kau susul saja dia di kampungnya”
“Baiklah, aku akan segera kesana,”
Tanpa basa-basi aku langsung masuk rumah dan menyiapkan bekal perjalanan, dalam benakku aku begitu bingung atas apa yang telah terjadi, rumah Rani memang hanya seberang desa, tapi sekalipun dia akan pulang, seharusnya pamit terlebih dulu padaku atau menunggu aku pulang, ini sungguh tidak biasa.
Derik jangkrik mengantarku dalam perjalanan, dan lengking suara anjing peliharaan yang seperti ketakutan juga terdengar. Kunang-kunang juga enggan malu bersinar di bawah langit malam yang mendung, sepertinya akan turun hujan,
Ternyata benar, belum sampai aku ketempat Rani, hujan sudah mulai turun, aku bergegas berteduh di bawah pohon besar yang kira-kira berusia puluhan tahun, segera kuambil sarung dalam tas bawaanku, ku pakai agar tak kedinginan.
Rentetan air tetap saja turun dari daun yang basah, sehingga sama saja kena air tubuhku yang berselimut sarung. Beberapa jam kemudian hujan mulai reda, aku bergegas melipat sarungku yang sedikit basah,
Kulanjutkan perjalananku ke rumah Rani dengan tergesa-gesa, walau jalanan licin tetap saja kupercepat lajuku, jika melihat jalan begitu gelap ini, seperti hutan yang belum terjamah saja, tak ada lampu yang bisa menerangi jalan, terakhir aku lewat sini ada satu lampu yang menerangi jalan, mungkin karena hujan tadi, jadi kongslet. Setelah aku amati di mana dulu letak lampu itu, ternyata sudah tak ada lagi, terlihat bekas tiangnya yang roboh.
Saat aku melihat bekas tiang dan dengan langkah kaki yang cepat, aku tak melihat ada batu yang menyandungku, karena kaget, aku tersandung dan setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.
Saat aku terbangun, aku merasa kepalaku pusing dan penglihatanku sedikit buram, badanku terasa lemas dan lemah, aku mencoba meraba kepalaku ternyata telah terbungkus sesuatu seperti kain.
Lima menit kemudian aku mulai bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi, aku melihat sekitarku adalah rumah dengan tembok anyaman bambu. Terlihat juga sosok perempuan yang sedang tertidur lelap di sampingku. Setelah aku melihat dengan jelas ternyata Rani Istriku.
“Rani…Rani,” bisikku pelan, karena badanku masih lemah
“Rani.. bangun Nduk!”
Ia terlihat setengah sadar, dan mulai melihatku.
“Mas..!!kamu sudah sadar?” kata dia seperti kaget
“Sebentar mas, aku ambilkan minum dulu”
Diambilnya gelas yang berisi air putih dan membawakan untukku, aku mengumpulakam tenagaku untuk bangun dan bersandar pada tembok.
“ Apa yang terjadi Nduk? Di mana kita? Seingatku, aku menjemput kamu di rumah Orang tuamu”
Dia mulai menceritakan apa yang terjadi, bahwa aku ditemukan sesorang yang sedang lewat di mana aku sedang terjatuh, lalu aku yang saat itu tidak sadar di bawa kedesaku, sesampai di sana, ada orang yang mengetahui siapa aku dan mengantarkan kedalam rumahku. Karena pendarahanku begitu parah, mereka langsung mengantarkanku ke Rumah Sakit.
Istriku yang baru diberitahu keberadaanku, langsung menjenguk dan menemaniku, untuk membayar uang rumah sakit, Istriku menggadaikan rumah kami satu-satunya, walaupun sudah menggadaikan rumah dan mengambil uang hasil copetan yang ada di tasku, uang kami tidak cukup, sehingga istriku meminta meneruskan merawatku di rumah, karena tak ada biayanya. Setelah itu, karena rumah telah di gadaikan, ia mengontrak rumah ini untuk menungguku tersadar.
“Berapa bulan Nduk aku tak sadarkan diri?’ tanyaku
“sekitar 6 minggu Mas”
“ Apa? Selama itukah aku pingsan? Lalu mana bayi kecilku yang kita idamkan selama ini Nduk?”
Rani tiba-tiba menangis dan lari keluar.
“Rani…! Kenapa kau ini? Mana anak kita?”teriakku.
Aku mulai gelisah melihat sikap Rani, aku memaksakan diri untuk berdiri, dengan terengah-engah akhirnya aku bisa berdiri walau tersendal jalanku. Aku melangkah dengan pelan keluar rumah, kulihat Rani menangis di bawah pohon sawo. Ternyata tempat ini berada tak jauh dari rumah orang tuanya, terlihat dari banyak pohon-pohon sawo dan nangka.
Kuhampiri dia dengan pelan, dia duduk dan begitu keras menangis hingga tak mendengar langkahku yang mendekatinya.
“ Nduk, kenapa kau menangis? Di mana anak kita? Apa dia di rumah Ibumu?”
“Ti..tidak mas”
kata-katanya terpatah-patah karena menangis dan kaget melihat aku telah di sampingnya.
“ Lalu di mana anak kita? Dan bagaimana kau dapatkan uang untuk mengontrak rumah ini?
Dia tetap menangis dan menutup mukanya. Aku biarkan ia menangis, dan kutunggu beberapa menit untuk menunggunya berhenti. Aku duduk di sampingnya yang menghadap rumah yang kami huni saat ini. Aku amati benar rumah yang kecil itu, lalu tiba-toba Rani mengucapkan sesuatu.
“Apa mas mau tahu jawabanya?” katanya sambil menangis
“Tentu nduk”
“Bayi yang Mas cari tak ada di rumah ibuku”
“Lalu?”
Rani mulai membisu lagi, seakan enggan mengatakan sesuatu terhadapku. Kupandangi dia dengan berharap-harap.
“Mas…Bayi kita…bayi kita ada di depan Mas” kata Rani dengan tersenggal-senggal karena menangis.
“Apa maksudmu Rani?” kataku kaget mendengar perkataan Rani
“Bayi kita adalah rumah yang ada di depan kita”
“Rani apa maksud kamu” bentakku sambil ku pandang tajam mata Rani
Rani menangis lagi, dengan tersengal-sengal, aku hanya bisa memandang ia yang sedang menangis dengan pandangan yang tajam. Seakan tak percaya yang terjadi.
“Rani.. apakah kau telah menjual anak kita? Rani.. katakan Rani!!!” bentakku
Ku ucapkan pertanyaan itu berkali-kali dan dengan semakin keras, ku ucapkan sambil aku goyangkan badan Rani yang tetap saja menangis dan terus menangis.